Konsep Keadilan Sosial dalam Ajaran Zoroaster di Persia Kuno
Zoroastrianisme, salah satu agama monoteistik tertua di dunia, berakar kuat di Persia kuno sekitar milenium kedua atau pertama SM. Didirikan oleh Nabi Zarathustra (Zoroaster), ajaran ini tidak hanya membentuk pandangan spiritual bangsa Persia tetapi juga menjadi fondasi etika dan moral yang mendalam, termasuk konsep keadilan sosial yang relevan hingga kini. Bagi penganutnya, kehidupan di dunia adalah medan perjuangan antara kebaikan dan kejahatan, dan setiap individu memiliki tanggung jawab moral untuk memilih jalan kebaikan, yang secara langsung berkaitan dengan penciptaan masyarakat yang adil.
Dualisme Kosmik dan Etis: Landasan Keadilan
Inti dari ajaran Zoroaster adalah dualisme kosmik antara dua kekuatan utama: Ahura Mazda (Tuhan yang Bijaksana), pencipta segala kebaikan, cahaya, dan kebenaran; dan Angra Mainyu (Roh Jahat), sumber kegelapan, kebohongan, dan kehancuran. Manusia ditempatkan di antara dua kekuatan ini dan diberi anugerah kehendak bebas (vohu manah) untuk memilih. Pilihan ini tidak hanya berdampak pada individu tetapi juga pada tatanan dunia.
Dari dualisme kosmik ini lahir dualisme etis: Asha (Kebenaran, Keteraturan Ilahi, Keadilan) melawan Druj (Kebohongan, Kekacauan, Ketidakadilan). Konsep Asha adalah pilar utama keadilan sosial Zoroaster. Asha mencakup kebenaran mutlak, ketertiban alam semesta, dan tatanan moral yang harus dipatuhi manusia. Menciptakan masyarakat yang adil berarti hidup sesuai dengan Asha, di mana setiap orang memperlakukan sesamanya dengan kejujuran, integritas, dan rasa hormat.
Prinsip Keadilan Sosial dalam Zoroastrianisme
1. Pikiran Baik, Perkataan Baik, Perbuatan Baik (Humata, Hukhta, Hvarshta)
Slogan terkenal Zoroaster ini adalah pedoman moral yang merangkum esensi ajaran. Menerapkannya berarti tidak hanya menjaga pikiran dan perkataan dari kejahatan, tetapi juga secara aktif melakukan perbuatan baik. Dalam konteks sosial, ini mendorong individu untuk berkontribusi positif kepada masyarakat, menghindari fitnah, penipuan, dan tindakan merugikan lainnya.
2. Tanggung Jawab Sosial dan Filantropi
Zoroastrianisme sangat menekankan tanggung jawab individu terhadap sesama, terutama mereka yang kurang beruntung. Memberikan sedekah (dastur), membantu orang miskin, janda, dan yatim piatu bukanlah sekadar pilihan, melainkan sebuah kewajiban ilahi. Kekayaan tidak dipandang sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai alat untuk melayani Tuhan dan komunitas. Orang kaya diharapkan untuk menggunakan kekayaannya untuk kebaikan bersama, membangun fasilitas umum, atau mendukung mereka yang membutuhkan.
3. Keadilan dalam Pemerintahan dan Ekonomi
Ajaran Zoroaster menuntut para pemimpin untuk memerintah dengan adil dan bijaksana, berpegang pada prinsip Asha. Raja-raja Persia yang menganut Zoroastrianisme, seperti Koresh Agung, dikenal karena toleransi dan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan rakyatnya. Penindasan, korupsi, dan eksploitasi sangat dikecam. Dalam bidang ekonomi, nilai kerja keras dan produktivitas sangat dijunjung. Pertanian dan kerajinan tangan dipandang sebagai pekerjaan mulia yang berkontribusi pada kemajuan masyarakat. Kemalasan dan praktik ekonomi yang tidak jujur dianggap bertentangan dengan Asha.
4. Penghargaan terhadap Lingkungan (Stewardship)
Sebagai bagian dari ciptaan Ahura Mazda yang baik, alam semesta, termasuk air, tanah, api, dan udara, harus dihormati dan dijaga. Konsep ini melahirkan etika lingkungan yang kuat, di mana eksploitasi berlebihan atau pencemaran dianggap sebagai tindakan melawan kebaikan. Menjaga kelestarian lingkungan dapat dilihat sebagai bentuk keadilan terhadap generasi mendatang, memastikan mereka juga dapat menikmati ciptaan Tuhan yang murni.
5. Pentingnya Keluarga dan Komunitas
Keluarga adalah unit dasar masyarakat, dan keutuhan serta keharmonisan keluarga sangat ditekankan. Di luar keluarga, komunitas (vahman) adalah wadah bagi individu untuk mempraktikkan kebajikan dan mendukung satu sama lain. Solidaritas sosial dan gotong royong adalah nilai-nilai inti yang mempromosikan keadilan dan kesejahteraan bersama.
Warisan dan Relevansi
Konsep keadilan sosial dalam ajaran Zoroaster memiliki dampak yang signifikan pada peradaban Persia, membentuk etika kekaisaran seperti Akhemeniyah dan Sassania. Banyak sejarawan dan teolog juga berpendapat bahwa ide-ide Zoroastrianisme tentang keadilan, surga, neraka, penghakiman akhir, dan dualisme etis kemungkinan memengaruhi agama-agama monoteistik berikutnya seperti Yudaisme, Kekristenan, dan Islam. Meskipun jumlah penganutnya kini lebih kecil, prinsip-prinsip etis dan keadilan sosial Zoroaster tetap relevan, menawarkan pandangan mendalam tentang bagaimana membangun masyarakat yang harmonis dan bermartabat, berdasarkan kebenaran, kebaikan, dan tanggung jawab universal.
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!